Kemiskinan merupakan problematika kemanusiaan yang telah mendunia dan hingga kini masih menjadi isu sentral khususnya di negara dunia ketiga. Selain bersifat laten dan aktual, kemiskinan dipandang sebagai penyakit sosial ekonomi yang paling banyak dialam ioleh negara berkembang. Meskipun kebanyakan negara berkembang telah berhasil melaksanakan pembangunan ekonomi melalui peningkatan pertumbuhan produksi, pendapatan nasional, dan perkembangan teknologi, namun di balik kesuksesan dalam konteks fisik material mencuat setumpuk fenomena dehumanisasi berupa kemiskinan yang sangat rnemprihatinkan. Pada saat yang bersamaan terjadi pula peningkatan dalam ketimpangan distribusi pendapatan antara kelompok kaya dan miskin. Kemiskinan kian menjadi masalah serius karena adanya kecenderungan negara berkembang mengutamakan program pembangunan ekonomi yang berskala makro, tanpa memerhatikan kondisi riil secara menyeluruh di daerah pedesaan secara mikro.
Berbagai pendekatan telah banyak digunakan pemerintah untuk menanggulangi dan mengurangi angka kemiskinan diantaranya pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach) dan pendekatan objective and subjective. Badan pusat Statistik misalnya menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) dengan memandang kemiskinan sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar pangan dan bukan pangan diukur dari sisi pengeluaran yang disebut garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan (poverty threshold). Garis kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan senilai 2-100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan non-makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya. Berdasarkan ketentuan tersebut BPS mengeluarkan data makro yang dihitung berdasarkan data sampel, sehingga hasilnya sebetulnya bersifat prediktif.
Selengkapnya dapat dibaca dalam Jurnal Sumber Daya Insani Universitas Muhammadiyah Kendari, Edisi Januari 2012 berikut ini.
» Terima kasih telah membaca: Pilar-Pilar Kemiskinan di Pedesaan
Sebarkan Melalui:
Berbagai pendekatan telah banyak digunakan pemerintah untuk menanggulangi dan mengurangi angka kemiskinan diantaranya pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach) dan pendekatan objective and subjective. Badan pusat Statistik misalnya menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) dengan memandang kemiskinan sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar pangan dan bukan pangan diukur dari sisi pengeluaran yang disebut garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan (poverty threshold). Garis kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan senilai 2-100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan non-makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya. Berdasarkan ketentuan tersebut BPS mengeluarkan data makro yang dihitung berdasarkan data sampel, sehingga hasilnya sebetulnya bersifat prediktif.
Selengkapnya dapat dibaca dalam Jurnal Sumber Daya Insani Universitas Muhammadiyah Kendari, Edisi Januari 2012 berikut ini.
0 Response to "Pilar-Pilar Kemiskinan di Pedesaan"
Post a Comment