Mempersepsi-Negatifkan Buku-Dosen, Wajarkah?

3/01/2018

Belum lama ini saya mendengar perbincangan beberapa orang dosen yang enggan menulis buku. Pasalnya, buku dinilai sebagai sarana bisnis bagi dosen. Melalui buku dosen akan dikenal sebagai dosen “Diktator” alias dosen penjual diktat, buku, atau bahan ajar lainnya. Betapa tidak, jika mahasiswa tidak membeli buku dosen yang bersangkutan, maka mahasiswa dinilai kurang serius mengikuti proses pembelajaran bahkan akan diberi nilai kurang baik. Sekelumit persepsi demikian menggiring beberapa dosen memilih untuk tidak menulis buku. Salahkah pandangan atau persepsi yang demikian itu? Hemat saya, berdasarkan hasil “curi-dengar” saya atas percakapan itu, terdapat dua persoalan yang berbeda namun saling berkaitan. Enggan menulis adalah satu kekeliruan, begitu pula jika dosen menjadikan buku sebagai komoditas untuk menguras kantong mahasiswa.

Dosen-Buku-Mahasiswa sebagai Satu Kesatuan
Perlu disadari kembali bahwa dosen merupakan salah satu profesi yang cukup bergengsi dimana salah satu tugas utamanya sebagai fasilitator dan motivator pembelajaran. Dengan kata lain, dosen berkewajiban memfasilitasi materi perkuliahan kepada mahasiswa sebagai bagian dari usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dosen tidak hanya berkewajiban untuk melakukan proses pengajaran di dalam kelas semata, tetapi juga melakukan hal produktif lain dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan.

Karena itu, aktivitas menulis berupa buku dan karya ilmiah lainnya adalah bagian dari kehidupan akademik dosen sebagai kelompok intelektual. Melalui buku seorang dosen dapat mentransfer ilmu pengetahuan, baik yang diperolehnya dari hasil-hasil riset ataupun dari hasil kajian dari berbagai referensi. Publikasi buku dapat meningkatkan kepercayaan diri seorang dosen, terlebih lagi jika publikasinya itu telah disitasi secara luas. Secara paraktis, buku dapat dijadikan sebagai sumber KUM yang cukup tinggi untuk kenaikan pangkat, media ekspresi keilmuan, eksistensi diri (personal branding), mendapatkan insentif, royalty, dan yang tidak kalah pentingnya adalah menjadi salah satu poin dalam penilaian borang akreditasi program studi. Jika demikian, maka sudah saatnyalah dosen meninggalkan persepsi negatifnya tentang buku-dosen.

Baca Juga:

Pemasaran dan Harga yang Wajar
Persepsi negatif tersebut di atas tidak terlepas dari cara atau metode pemasaran dan harga yang tidak wajar. Bicara soal mekanisme pemasaran buku terdapat dua mekanisme pemasaran yang umum. Pertama, jika buku diterbitkan oleh penerbit mayor, maka sudah dapat dipastikan buku tersebut dipasarkan oleh penerbit secara meluas melalui toko-toko buku, misalnya Gramedia. Selain proses pemasarannya yang ditangani langsung oleh penerbit, penentuan harganya pun ditentukan oleh pihak penerbit dan selanjutnya oleh toko buku. Pada mekanisme ini seorang penulis (dosen) tidak memiliki ruang mengintervensi harga. Kedua, jika buku diterbitkan oleh penerbit minor (self publishing/indie), maka umumnya mekanisme pemasaran dan penentuan harga dibawah kendali oleh penulis. Umumya buku yang dicetak oleh penerbit minor didasarkan pada sistem Print On Demand (PoD), artinya jumlah buku yang dicetak sesuai dengan permintaan penulis.

Jika buku dicetak dalam sistem PoD, maka disinilah kewajaran dan kepantasan harga buku (dosen) teruji kelayakannya di mata konsumen, khususnya bagi mahasiswa dan rekan sejawat dosen. Hampir tidak ada rumus tunggal dalam menentukan harga sebuah buku, karena itulah untuk 1 judul buku memiliki harga yang berbeda-beda di beberapa tempat. Pertimbangannya banyak, diantaranya: harga bahan, biaya editing/layout, jasa desain cover, ongkos kirim, promosi, dan biaya lain-lain. Salah satu rumus yang biasa digunakan dalam menentukan harga buku adalah biaya cetak dibagi jumlah eksamplar dikali tiga. Sebagai contoh, biaya cetak 200 eksamplar adalah 3.400.000, maka perhitungannya: 3.400.000/200 x 3 = 51.000. Umumnya harga kemudian tidak wajar jika buku pasarkan dengan harga di atas perkalian 5.

Kesimpulan ada pada diri masing-masing. Demikian semoga bermanfaat!

» Terima kasih telah membaca: Mempersepsi-Negatifkan Buku-Dosen, Wajarkah?
Sebarkan Melalui:

0 Response to "Mempersepsi-Negatifkan Buku-Dosen, Wajarkah?"

Post a Comment